Latar belakang Berdirinya INSIST
INSISTS - Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations.
Upaya pembaruan pemikiran keagamaan (tajdid) merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh kaum Muslim, sesuai sabda Nabi Muhammad saw (Sunan Abu Dawud), bahwa di setiap penghujung abad, akan muncul seseorang yang memperbaharui (pemikiran) keagamaan Islam. Pembaruan – dalam arti tajdid – adalah suatu siklus alami dalam pemikiran keagamaan Islam. Di sepanjang sejarah Islam, memang terdapat pemikir-pemikir besar yang berilmu tinggi, serius, Ikhlas, yang memberikan kontribusi besar dalam perkembangan khazanah pemikiran dan keilmuan Islam, dan disebut pembaharu. Sebut saja, nama-nama Umar ibn Abdul Aziz, Imam Syafii, al-Ghazali, Ibn Taimiyah, dan sebagainya.
Mereka tercatat dengan tinta emas dalam sejarah Islam, karena kesungguhan, keikhlasan, dan kedalaman serta keluasan ilmu mereka. Sebagai pembaru selain menggali, mendalami, dan menekuni dengan serius ilmu-ilmu keislaman – al-Quran, hadits, tafsir, sejarah Islam, dan sebagainya – mereka juga menguasai pemikiran dari peradaban lain, seperti Filsafat Yunani, Teologi Kristen dan ilmu-ilmu lain yang berkembang masa itu. Akan tetapi para ulama masa itu tidak silau dan terjebak ke dalam “worldview” lain yang berentangan dengan “worldview Islam”; mereka mampu memfilter dan menempatkan pemikiran dan konsep-konsep dari “peradaban asing” itu dalam kerangka “worldview” Islam.
Dalam sejarah kebudayaan ummat manusia proses tukar-menukar dan interaksi (intermingling) atau pinjam meminjam konsep antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain memang senantiasa terjadi, seperti yang terjadi antara kebudayaan Barat dan peradaban Islam. Dalam proses ini selalu terdapat sikap resistensi dan akseptansi. Namun dalam kondisi dimana suatu kebudayaan itu lebih kuat dibanding yang lain yang tejadi adalah dominasi yang kuat terhadap yang lemah. Istilah Ibn Khaldun, “masyarakat yang ditaklukkan, cenderung meniru budaya penakluknya”.
Ketika peradaban Islam menjadi sangat kuat dan dominan pada abad pertengahan, masyarakat Eropa cenderung meniru atau “berkiblat ke Islam”. Kini ketika giliran kebudayaan Barat yang kuat dan dominan maka proses peniruan itu juga terjadi. Terbukti sejak kebangkitan Barat dan lemahnya kekuasaan politik Islam, para ilmuwan Muslim belajar berbagai disiplin ilmu termasuk Islam ke Barat dalam rangka meminjam. Hanya saja karena peradaban Islam dalam kondisi terhegemoni maka kemampuan menfilter konsep-konsep dalam pemikiran dan kebudayaan Barat juga lemah.
Tidak heran, jika saat ini, banyak yang cenderung melihat Barat sebagai “kiblat pemikiran” tidak saja dalam sain-teknologi tapi juga dalam bidang keagamaan (religious studies). Pemikiran dan kebudayaan Barat yang berakar pada filsafat Yunani, tradisi Judeo-Christian, dan konsep-konsep tribalisme berbagai suku di Eropa, telah banyak memukau banyak pemikir Muslim. Banyak yang kemudian berpikir, agar Muslim maju tidak ada jalan lain kecuali dengan menjiplak Barat, sampai hal-hal yang bersifat fisik – seperti yang dilakukan Kemal Attaturk di Turki.
Disaat kebudayaan Barat semakin dominan timbul suatu pemikiran bahwa jika peradaban Barat lahir dan berkembang melalui alam pikiran, tradisi dan pandangan hidup Barat sendiri, maka adalah sesuatu yang a fortiori untuk memandang Islam sebagai peradaban yang lahir, berkembang dan dapat terus berkembang melalui pandangan hidup dan tradisinya sendiri. Dalam artian bahwa peradaban Islam berkembang dan hanya dapat berkembang oleh karena pandangan hidup Islam sendiri. Bahkan menurut Professor Alparslan, seorang pakar filsafat Islam dari Turki, tidak ada peradaban yang berkembang karena peradaban lain, jika pun ada unsur-unsur peradaban asing dalam suatu peradaban, ia tidak dominan.
Jika konsep-konsep pemikiran dari peradaban asing diterapkan kedalam pemikiran Islam secara tidak kritis maka akibatnya konsep-konsep pemikiran asing itu akan menjadi dominan dan dapat menghancurkan peradaban Islam. Adopsi konsep-konsep Barat kedalam pemikiran Islam dengan cara itu kini telah mengakibatkan kerancuan (con-fusion) pemikiran.
Dan jika usaha pembaruan keagamaan hanya mengadopsi konsep-konsep Barat, maka bukan tidak mungkin akan berkembang menjadi proses Westernisasi. Terbukti ketika para orientalis menulis tentang Islam dengan framework mereka sendiri, maka banyak ditemui pandangan mereka yang negatif tentang pribadi Nabi saw, ide pemisahan hadith dari al-Qur’an, ide yang mempersoalkan otoritas Tafsir para ulama, penafian adanya filsafat Islam, shari’at Islam, hak wanita dan lain-lain.
Memang, kaum Muslimin wajib menguasai bidang sains dan teknologi yang berkembang pesat di Barat. Tetapi, pandangan hidup Barat yang bersifat sekularistis-liberalistis-hedonistis tidak seyogyanya diadopsi dan dijadikan sebagai “worldview” untuk memandang Islam, dengan anggapan kaum Muslim akan maju jika konsep-konsep Islam disubordinasikan ke dalam pola berpikir Barat.
Tradisi pemikiran dalam Islam adalah cermin dari pandangan hidup Islam (worldview) yang dinamik, teratur dan rasional yang dipancarkan oleh konsep Islam sebagai Din. Secara teori, pandangan hidup ini tercipta dari adanya konsep ilmu pengetahuan dan pengembangannya yang dibentuk dari kerangka kerja sistim metafisika Islam yang terutamanya meliputi pengertian tentang kebenaran dan realitas yang mutlak.
Dalam perspektif pandangan hidup inilah dapat diketahui apakah suatu pemahaman atau penafsiran tentang Islam yang berupa ilmu pengetahuan, filsafat, sains dan lainnya itu benar-benar sesuai dengan Islam dan sejalan dengan pernyataan dan kesimpulan umum Kebenaran yang Diwahyukan (Revealed Truth). Jika terdapat penafsiran atau pemahaman yang tidak sejalan maka perlu dikoreksi ulang (Islah) dengan apa yang disebut dengan Perubahan Paradigma (paradigm shift), yang berarti perubahan pandangan hidup dan sistim metafisikanya.
Dalam tradisi pemikiran Islam aktifitas koreksi ulang ini dapat berarti tajdid dan hakekatnya selalu berorientasi pada pemurnian (refinement) yang sifatnya kembali kepada ajaran asal dan bukan adopsi pemikiran asing. Kembali kepada ajaran asal tidak bisa difahami sebagai kembali kepada corak fisik kehidupan di zaman Nabi dan generasi salaf al-Salih, tapi harus dimaknai secara konseptual dan kreatif. Maka, sesuai dengan makna Islam itu sendiri, tajdid atau Islah mempunyai implikasi membebaskan, artinya membebaskan manusia dari belenggu tradisi magis, mitologis, animistis dan kultur chauvinis yang bertentangan dengan Islam; pembebasan manusia dari pengaruh pemikiran sekuler terhadap pikiran dan bahasanya, atau pembebasan manusia dari dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil kepada fitrah atau hakekat kemanusiaannya yang benar. (al-Attas)
Proses pembebasan ini sekarang dikenal dengan sebutan “Islamisasi”. Dalam konteks zaman sekarang, proses ini memerlukan pengetahuan tentang paradigma dan pandangan hidup Islam yang tercermin di dalam al-Qur’an dan Sunnah serta pendapat-pendapat para ulama terdahulu yang secara ijma’ dianggap Islah. Selain itu juga dituntut untuk memahami pengetahuan tentang kebudayaan asing dengan pemikiran yang menjadi asasnya. Disini jelas bahwa pembaharuan atau Islamisasi tidak bersifat evolusioner tapi lebih bermakna devolusioner, sehingga produk yang dihasilkan tidak berbeda dari bentuk asalnya. Pembaharuan dalam Islam tidak “membongkar” konsep-konsep asasi yang telah dijelaskan Nabi dan dielaborasi oleh para ulama terdahulu, tetapi memperjelas dan mempertajam konsep-konsep itu dalam konteks masa kini.
Pembaharuan atau Islamisasi tidak mengindikasikan bahwa ajaran asasi agama Islam itu usang dan perlu diperbaharui agar sesuai dengan keadaan zaman yang terus menerus berubah, pembaharuan (tajdid) diperlukan karena pemahaman ummat Islam terhadap ajaran Islam telah semakin jauh dari bentuk dan sifat aslinya yang disebabkan oleh kondisi ilmu pengetahuan dan ulama di masyarakat. Maka dari itu setiap usaha pembaharuan (tajdid) selalu merujuk kepada kebenaran yang mutlak, yang permanen, yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ia bukan penafsiran Islam dengan pikiran bebas yang menolak otoritas ulama, bukan pula suatu bentuk pencarian kebenaran yang tiada henti dan tiada pegangan serta petunjuk yang mutlak dan pasti, seperti tradisi pemikiran dalam kebudayaan Barat.
Berdasarkan pada rationale diatas maka didirikanlah INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought & Civilizations), yang berusaha untuk menghadirkan wajah pemikiran Islam yang lebih bersifat konseptual dengan berpijak pada pandangan hidup Islam, berpegang pada tradisi intelektual dan otoritas para ulama serta committed pada kebenaran dengan tetap memperhatikan masalah-masalah kontemporer. INSISTS adalah lembaga non-profit yang bergerak dalam bidang pengkajian pemikiran dan peradaban Islam secara professional akademis. Didirikan oleh cendekiawan muda Muslim yang sebagian besar sedang menempuh program Post-graduate mereka di International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University (ISTAC-IIUM), Malaysia.